Menempatkan Kepentingan Anak Sebagai Prioritas Utama dalam Hak Asuh

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:06:16 WIB
Menempatkan Kepentingan Anak Sebagai Prioritas Utama dalam Hak Asuh

JAKARTA - Ketika perceraian terjadi, perhatian utama sering kali beralih pada masa depan anak yang masih memerlukan bimbingan, kasih sayang, serta stabilitas emosional. 

Hak asuh atau hadhanah menjadi hal yang sensitif untuk dibahas karena menyangkut kondisi tumbuh kembang anak dalam jangka panjang. Dalam hukum Indonesia, kewajiban orangtua terhadap anak tetap berlaku meskipun perkawinan putus. 

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya hingga anak menikah atau mampu berdiri sendiri, dan kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun orangtua bercerai.

Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Artinya, tanggung jawab orangtua tidak berhenti meskipun hubungan pernikahan telah berakhir. 

Nilai kasih sayang dan rasa aman masih tetap harus dijaga demi kepentingan terbaik anak. Oleh karena itu, persoalan hak asuh tidak sekadar tentang siapa yang lebih berhak, tetapi tentang bagaimana anak tetap memperoleh lingkungan yang mendukung untuk tumbuh sehat secara fisik maupun mental.

Kepentingan anak menjadi dasar utama setiap keputusan, baik secara hukum maupun nilai keluarga. Perceraian mungkin mengubah hubungan antara ayah dan ibu, namun tidak menghilangkan peran mereka sebagai orangtua. 

Dengan pemahaman ini, hak asuh dipandang bukan sebagai perebutan kemenangan, melainkan tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa anak tetap berada pada tempat yang aman secara fisik, emosional, dan spiritual.

Penentuan Hak Asuh Berdasarkan Undang-undang dan Pertimbangan Pengadilan

Ketentuan mengenai hak asuh setelah perceraian dijelaskan dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan yang menegaskan bahwa ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak berdasarkan kepentingan anak. 

Jika terjadi perselisihan, maka pengadilan akan memutuskan pihak mana yang lebih layak menerima penguasaan anak. Ayah bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan, namun apabila tidak mampu, pengadilan dapat menentukan agar ibu ikut menanggung biaya tersebut.

Dalam praktiknya, salah satu rujukan yang sering digunakan adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 yang menjelaskan bahwa hak asuh anak di bawah umur atau di bawah usia 12 tahun umumnya diberikan kepada ibu. 

Hal ini karena pada usia tersebut, anak dinilai lebih membutuhkan perhatian dan kedekatan emosional seorang ibu. Namun, penentuan ini tidak bersifat mutlak. Jika ibu dianggap tidak mampu menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, hak asuh dapat dialihkan kepada ayah.

Hak asuh tidak hanya ditentukan berdasarkan hubungan darah, tetapi juga kelayakan dalam memberikan lingkungan yang mendukung pertumbuhan anak. 

Lingkungan emosional yang stabil, kesehatan mental orangtua, kemampuan ekonomi, dan cara pengasuhan menjadi beberapa faktor yang dipertimbangkan pengadilan dalam mengambil keputusan terbaik.

Hak Asuh Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kondisi Khusus

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Sementara itu, anak yang telah mumayyiz diberikan hak untuk memilih ingin tinggal bersama ayah atau ibu. 

Biaya pemeliharaan tetap menjadi tanggung jawab ayah. Ketentuan ini menekankan keseimbangan antara hak pengasuhan dan kewajiban nafkah yang tidak hilang meski orangtua berpisah.

Apabila pemegang hak asuh tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, KHI memberikan kewenangan kepada pengadilan agama untuk memindahkan hak asuh kepada pihak lain yang lebih layak. 

Hal ini mengacu pada Pasal 156 huruf (c) KHI yang menyebutkan bahwa hak asuh dapat dialihkan jika hak-hak anak tidak terpenuhi. Kondisi seperti ibu yang mengalami masalah kesehatan serius, terbukti melakukan kekerasan, atau berperilaku yang membahayakan anak, dapat menjadi dasar pemindahan hak asuh.

Dalam kasus anak di bawah usia 5 tahun, pelaksanaan hak asuh biasanya diberikan kepada ibu, kecuali terdapat alasan kuat yang menunjukkan bahwa ibu tidak mampu menjalankan tanggung jawab tersebut. 

Jika perceraian terjadi karena perselingkuhan atau kelalaian berat dari salah satu pihak, pengadilan dapat mempertimbangkan pembatasan atau pencabutan hak asuh demi menjaga keamanan dan perkembangan anak.

Pandangan Islam Mengenai Tanggung Jawab Pengasuhan Anak

Dalam ajaran Islam, hak asuh anak atau hadhanah bukan hanya tentang kedekatan fisik, tetapi juga tentang kewajiban moral dan spiritual dalam membimbing anak menuju akhlak yang baik. Alquran Surah At-Tahrim ayat 6 mengingatkan:

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”

Pesan ini menegaskan bahwa orangtua, baik ayah maupun ibu, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keselamatan anak, tidak hanya secara fisik tetapi juga dalam nilai iman.

Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

Dalam konteks ini, hak asuh bukanlah sekadar persoalan hukum, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan kasih sayang, kesabaran, dan kesadaran akan dampaknya bagi masa depan anak.

Terkini