AI

AI dan Dampaknya terhadap Ketersediaan Air Bersih

AI dan Dampaknya terhadap Ketersediaan Air Bersih
AI dan Dampaknya terhadap Ketersediaan Air Bersih

JAKARTA - Pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam beberapa tahun terakhir telah mengubah cara manusia bekerja, berkomunikasi, dan mengakses informasi.

 Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, penggunaan AI ternyata memiliki dampak lingkungan yang serius, termasuk terhadap konsumsi air bersih. 

Perusahaan teknologi besar kini membutuhkan air dalam jumlah signifikan untuk mendinginkan pusat data mereka akibat meningkatnya permintaan layanan online dan produk AI generatif.

Pendinginan server AI mengandalkan menara pendingin dan mekanisme sirkulasi udara yang menyebabkan air menguap hingga 9 liter per kWh energi yang digunakan. Hal ini membuat setiap interaksi dengan sistem AI tidak hanya memerlukan listrik, tetapi juga air dalam jumlah besar. 

Perusahaan-perusahaan seperti Microsoft, Google, dan Meta telah berkomitmen mengurangi dampak lingkungan dengan mengembalikan lebih banyak air daripada yang mereka konsumsi melalui proyek ekologi hingga 2030. Namun, tantangannya adalah bagaimana pasokan air yang terbatas dapat memenuhi kebutuhan ini.

Google menegaskan, “Air segar dan bersih adalah salah satu sumber daya paling berharga di Bumi, kami mengambil tindakan mendesak untuk mendukung keamanan air dan ekosistem yang sehat,” seperti dilaporkan Forbes pada Februari tahun lalu. 

Pernyataan ini menunjukkan kesadaran perusahaan akan keterbatasan sumber daya air dan kebutuhan mitigasi dampak AI terhadap lingkungan.

Kebutuhan Air dalam Operasional AI

Laporan dari Government Digital Sustainability Alliance (GDSA) menguraikan konsumsi air yang berkaitan dengan kecerdasan buatan dan pusat data. Contohnya, model bahasa besar GPT-3, yang menjadi dasar ChatGPT tiga tahun lalu, menggunakan sekitar 700.000 liter air selama fase pra-pelatihan. 

Selain itu, penggunaan AI diperkirakan akan meningkatkan konsumsi air global sebesar 5,5 kali lipat, dari 1,1 miliar menjadi 6,6 miliar meter kubik pada 2027. 

Jumlah ini setara lebih dari setengah total penggunaan air di Inggris, menunjukkan besarnya tekanan yang ditimbulkan AI terhadap sumber daya air.

Air yang digunakan oleh sistem AI berperan dalam tiga cara utama. Pertama, secara langsung di pusat data untuk mendinginkan server.

Kedua, secara tidak langsung untuk pembangkitan listrik yang menopang operasional teknologi. 

Ketiga, melalui perangkat keras, seperti server yang membutuhkan air untuk menjaga suhu tetap stabil. Sayangnya, air yang digunakan untuk pendinginan ini tidak mudah didaur ulang, karena terkontaminasi oleh debu, mineral, atau bahan kimia.

Meski begitu, air limbah ini dapat diolah agar memenuhi standar lingkungan sebelum dilepaskan kembali ke badan air lokal atau digunakan untuk irigasi dan pembilasan toilet. 

Teknologi pendinginan alternatif, seperti pendinginan cairan dan pendinginan alami, juga sedang dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada air tawar langsung.

Tantangan Lingkungan dan Risiko Kelangkaan

Menurut laporan Global Risk Forum dari World Economic Forum, penggunaan AI memiliki risiko signifikan terhadap kerusakan keanekaragaman hayati dan ekosistem dalam dekade berikutnya. 

Permintaan air yang meningkat oleh pusat data AI berpotensi menekan ketersediaan air bersih di wilayah yang sudah mengalami kelangkaan. 

Diperkirakan, pada akhir dekade ini, permintaan air tawar global akan melebihi pasokan sebesar 40 persen, dengan 55 persen pusat data berada di daerah aliran sungai berisiko tinggi tercemar.

Hampir 68 persen pusat data terletak di dekat kawasan lindung atau kawasan keanekaragaman hayati utama yang bergantung pada air bersih. Tekanan air ini tidak hanya mengancam habitat alami, tetapi juga memengaruhi komunitas manusia yang bergantung pada ekosistem tersebut. 

Tanpa ketersediaan air bersih, ada risiko hilangnya spesies, kerusakan ekosistem, dan berkurangnya kapasitas alam untuk mendukung kehidupan manusia dan satwa.

Uni Eropa pun telah menetapkan regulasi yang mewajibkan pusat data melaporkan konsumsi air tahunan mereka, mencerminkan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan teknologi AI. 

Hal ini menjadi langkah awal untuk menekan risiko kerusakan ekosistem dan memastikan penggunaan air lebih bertanggung jawab.

Strategi Membangun AI Berkelanjutan

Untuk memitigasi dampak AI terhadap air, anggota Government Digital Sustainability Alliance (GDSA), Alexandra Kis dan Avinash Lunj, menyarankan beberapa langkah penting. 

Pertama, membangun pusat data di lokasi yang tidak menghadapi tekanan air atau risiko kekeringan di masa depan. 

Kedua, memilih lokasi yang memungkinkan penggunaan air hujan atau memanfaatkan sistem pendingin tertutup yang mendaur ulang air.

Ketiga, menggunakan metode pendinginan alternatif, seperti pendinginan udara, yang lebih efisien di wilayah dengan pasokan air terbatas. 

Keempat, pengembangan pusat data harus disertai penilaian dampak biodiversitas, untuk menghindari gangguan habitat dan kerusakan ekosistem. 

“Panduan harus membantu menghindari gangguan habitat dan kehilangan biodiversitas dengan mengidentifikasi apakah lokasi yang diusulkan berada di zona ekologi berisiko tinggi,” jelas mereka.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa teknologi AI dapat dikembangkan dengan cara yang lebih berkelanjutan, mengurangi tekanan terhadap air bersih, dan tetap memenuhi kebutuhan operasional yang tinggi. 

Dengan perencanaan yang tepat, penggunaan AI tidak harus menjadi ancaman bagi lingkungan, tetapi dapat berjalan seiring dengan konservasi sumber daya alam.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index